Berlatar di Los Alamos, New Mexico, 1983 yang dingin dan bersalju, Owen (Kodi Smit-McPhee), bocah 12 tahun pendiam dan penyediri yang hidup bersama Ibunya ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Abby (Chloë Grace Moretz) akan merubah hidupnya selamanya. Ya, semuanya bermula disaat Abby dan ‘ayahnya’ (Richard Jenkins) pindah ke apartemen tepat disebelah tempat tinggal Owen, dari sini Abby dan Owen mulai secara perlahan menjalin persahabatan, bahkan seiring berjalannya waktu mereka mulai menyukai satu sama lain. Masalahnya Owen tidak pernah mengetahui siapa Abby dan segala misteri yang disembunyikan gadis cilik itu dibalik wajah manisnya?
2008 lalu, disaat Hollywood memulai ‘invasi’ vampire movienya dengan menelurkan instalemen pertama saga Twilight, dunia perfilman pun berguncang. Kisah romansa antara manusia dan vampire yang diadaptasi dari novel laris Stephenie Meyer berjudul sama itu menjadi sebuah fenomena baru yang ‘menjangkiti’ penontonnya, khususnya para penonton remaja di seluruh bumi dengan kisah percintaan antara Bella dan Edward. Di saat nyaris bersamaan, di belahan bumi lain, tepatnya di sebuah negara Eropa bernama Swedia, tanpa banyak publistas dan jauh dari hingar bingar, ‘lahirlah’ Let the Right One In / Låt den rätte komma in, sebuah horror-drama besutan sutradara Tomas Alfredson yang juga sama-sama merupakan film adaptasi novel dan mengusung tema percintaan terlarang antara anak manusia dan mahkluk penghisap darah.
Jika Twilght tampil bak sebuah sinetron romantis dengan segala ke-lebayan-tingkat tingginya, menjual wajah-wajah tampan dan jelita seorang Rpattz dan K-Stew, Let the Right One In tampil sebaliknya. Dengan segala kesederhanaanya film yang sudah banyak memboyong banyak penghargaan dari festival-festival film dunia ini membawa genre vampire kedalam tingkatan yang lebih tinggi, yang tentunya tidak dipunyai oleh franchise milik Summit Entertaiment tersebut.
Menilik kesuksesan yang diperoleh Let the Right One In, versi daur ulang alias remake tentu tinggal menunggu waktu saja. Benar saja, 2 tahun kemudian, atau tepatnya 2010 lalu, Matt Reeves yang sebelumnya pernah menghadirkan Cloverfield, mencoba membawa kisah vampire Swedia itu ke tanah Hollywood dalam Let Me In. Pertanyaan saya mungkin sama dengan pertanyaan kebanyakan penonton versi aslinya, “Perlukah remake untuk sebuah film yang sudah bagus?” apalagi melihat kebiasaan buruk Hollywood yang kerap kali merusak kualitas film-film orisinil dalam setiap versi remake-nya.
Untung saja ketakutan saya ternyata tidak terbukti, tidak seperti kebanyakan sineas Hollywood lain, Reeves rupanya tahu benar bagaimana membuat sebuah versi daur ulang yang baik. Seperti halnya Let the Right One In, Let Me In juga tidak jauh-jauh dari kesan suram, dingin, kelam dan pemilihan tone warna sendu yang menghiasi hampir keseluruhan film, walaupun harus diakui tidak seperti versi kepunyaan Tomas Alfredson, Reeves tampaknya harus bersusah payah membangun tensi ketengangan dengan cara yang terbilang chessy khas Hollywood ketimbang membiarkannya mengalir apa adanya dalam ambiguitas khas film Eropa, dalam artian Reeves masih harus menggunakan teknik-teknik konvensional seperti pengunaan CGI, scoring atau visual-visual sedikit berlebihan yang terdengar dan terlihat mengerikan untuk menegaskan kepada penontonnya bahwa Let Me In ini memang sebuah film horror. Bukan masalah yang mengganggu memang, hanya saja menjadikan Let Me In terkesan sedikit kehilangan sentuhan art nya dan menjadi sebuah horror mainstream biasa. Namun sekali lagi, karena digarap dengan baik hal-hal minor tersebut tampaknya tidak terlalu berarti banyak, apalagi bagi mereka penonton awam yang sama sekali belum bersentuhan dengan versi orisinilnya akan tetap dibuat terpesona dengan kisah ‘romantis’ tidak biasa satu ini.
Kodi Smit-McPhee dan Chloë Grace Moretz bisa jadi adalah faktor utama lain yang menjadikan Let Me In mampu bergerak dengan baik, Keduanya sukes mengemban tugas yang pernah dibawakan oleh Kare Hedebrant dan Lina Leandersson dalam versi Swedia-nya. Walupun jujur saja Mortez terlihat sedikit lebih dewasa ketimbang versi novel maupun film aslinya, tidak membuat keduanya kehilangan chemistry yang dibangun dengan baik sejak menit-menit awal. Memang jika dibandingkan Kodi Smit yang lebih mendominasi baik porsi maupun aktingnya, Cortez terasa lebih pasif, ya, karakter misterius sebagai Abby memang secara tidak langsung membatasi performanya untuk dapat berkembang lebih jauh.
Walaupun secara keseluruhan saya tetap lebih menyukai Let the Right One In, namun harus diakui Matt Reeves telah berhasil melalukan ‘pekerjaan rumahnya’ mentransfer elemen-elemen penting novel maupun film aslinya dengan sangat baik. Ya, Let Me In ini adalah contoh sukses bagaimana harusnya sebuah film daur ulang itu dibuat. Jarang-jarang ada remake yang mampu berbicara banyak, sebanyak film aslinya.
Sumber >> http://www.movietei.com/movie_review.php?opt=1&idx=365&revidx=487
2008 lalu, disaat Hollywood memulai ‘invasi’ vampire movienya dengan menelurkan instalemen pertama saga Twilight, dunia perfilman pun berguncang. Kisah romansa antara manusia dan vampire yang diadaptasi dari novel laris Stephenie Meyer berjudul sama itu menjadi sebuah fenomena baru yang ‘menjangkiti’ penontonnya, khususnya para penonton remaja di seluruh bumi dengan kisah percintaan antara Bella dan Edward. Di saat nyaris bersamaan, di belahan bumi lain, tepatnya di sebuah negara Eropa bernama Swedia, tanpa banyak publistas dan jauh dari hingar bingar, ‘lahirlah’ Let the Right One In / Låt den rätte komma in, sebuah horror-drama besutan sutradara Tomas Alfredson yang juga sama-sama merupakan film adaptasi novel dan mengusung tema percintaan terlarang antara anak manusia dan mahkluk penghisap darah.
Jika Twilght tampil bak sebuah sinetron romantis dengan segala ke-lebayan-tingkat tingginya, menjual wajah-wajah tampan dan jelita seorang Rpattz dan K-Stew, Let the Right One In tampil sebaliknya. Dengan segala kesederhanaanya film yang sudah banyak memboyong banyak penghargaan dari festival-festival film dunia ini membawa genre vampire kedalam tingkatan yang lebih tinggi, yang tentunya tidak dipunyai oleh franchise milik Summit Entertaiment tersebut.
Menilik kesuksesan yang diperoleh Let the Right One In, versi daur ulang alias remake tentu tinggal menunggu waktu saja. Benar saja, 2 tahun kemudian, atau tepatnya 2010 lalu, Matt Reeves yang sebelumnya pernah menghadirkan Cloverfield, mencoba membawa kisah vampire Swedia itu ke tanah Hollywood dalam Let Me In. Pertanyaan saya mungkin sama dengan pertanyaan kebanyakan penonton versi aslinya, “Perlukah remake untuk sebuah film yang sudah bagus?” apalagi melihat kebiasaan buruk Hollywood yang kerap kali merusak kualitas film-film orisinil dalam setiap versi remake-nya.
Untung saja ketakutan saya ternyata tidak terbukti, tidak seperti kebanyakan sineas Hollywood lain, Reeves rupanya tahu benar bagaimana membuat sebuah versi daur ulang yang baik. Seperti halnya Let the Right One In, Let Me In juga tidak jauh-jauh dari kesan suram, dingin, kelam dan pemilihan tone warna sendu yang menghiasi hampir keseluruhan film, walaupun harus diakui tidak seperti versi kepunyaan Tomas Alfredson, Reeves tampaknya harus bersusah payah membangun tensi ketengangan dengan cara yang terbilang chessy khas Hollywood ketimbang membiarkannya mengalir apa adanya dalam ambiguitas khas film Eropa, dalam artian Reeves masih harus menggunakan teknik-teknik konvensional seperti pengunaan CGI, scoring atau visual-visual sedikit berlebihan yang terdengar dan terlihat mengerikan untuk menegaskan kepada penontonnya bahwa Let Me In ini memang sebuah film horror. Bukan masalah yang mengganggu memang, hanya saja menjadikan Let Me In terkesan sedikit kehilangan sentuhan art nya dan menjadi sebuah horror mainstream biasa. Namun sekali lagi, karena digarap dengan baik hal-hal minor tersebut tampaknya tidak terlalu berarti banyak, apalagi bagi mereka penonton awam yang sama sekali belum bersentuhan dengan versi orisinilnya akan tetap dibuat terpesona dengan kisah ‘romantis’ tidak biasa satu ini.
Kodi Smit-McPhee dan Chloë Grace Moretz bisa jadi adalah faktor utama lain yang menjadikan Let Me In mampu bergerak dengan baik, Keduanya sukes mengemban tugas yang pernah dibawakan oleh Kare Hedebrant dan Lina Leandersson dalam versi Swedia-nya. Walupun jujur saja Mortez terlihat sedikit lebih dewasa ketimbang versi novel maupun film aslinya, tidak membuat keduanya kehilangan chemistry yang dibangun dengan baik sejak menit-menit awal. Memang jika dibandingkan Kodi Smit yang lebih mendominasi baik porsi maupun aktingnya, Cortez terasa lebih pasif, ya, karakter misterius sebagai Abby memang secara tidak langsung membatasi performanya untuk dapat berkembang lebih jauh.
Walaupun secara keseluruhan saya tetap lebih menyukai Let the Right One In, namun harus diakui Matt Reeves telah berhasil melalukan ‘pekerjaan rumahnya’ mentransfer elemen-elemen penting novel maupun film aslinya dengan sangat baik. Ya, Let Me In ini adalah contoh sukses bagaimana harusnya sebuah film daur ulang itu dibuat. Jarang-jarang ada remake yang mampu berbicara banyak, sebanyak film aslinya.
Sumber >> http://www.movietei.com/movie_review.php?opt=1&idx=365&revidx=487
0 comment on Let Me In :
Post a Comment and Don't Spam!